Kapan akan diangkat jadi karyawan tetap? Kapan bisa tenang dalam bekerja dan gak was-was dengan status kontrak yang harus siap di tendang kapanpun? Pertanyaan itu pasti ada dalam setiap benak karyawan outsourcing.

Dalam setiap kesempatan kumpul bareng dengn teman sesama buruh pasti ada celetukan ‘nasib buruh kontrak‘ dan blablabla unek-unek pun mengalir. Namun ada juga yang pasrah dan bilang ”sudah kerja aja syukur, mau kontrak atau enggak ga peduli”. Terdengar pesimis, tapi memang itulah adanya sebuah ungkapan putus asa di tengah ketidakpastian status dalam pekerjaan.

Disadari atau tidak, buruh kontrak terkesan sebagai buruh kelas 2 yang kesejahteraannya juga nomor 2. GAJI minimum dengan tuntutan super maksimum untuk perusahaan.

Pernah saya menjadi karyawan outsorcing, pertama masuk kerja sudah di bilang ”jangan pernah terlambat, jangan pernah bolos, jangan sakit, zero absen harus di usahakan”. Tuh kan yang ada kita di tekan untuk mengikuti kehendak perusahaan tanpa ba-bi-bu tanpa ada opsi untuk mengajukan keberatan. Kita di cetak untuk punya fikiran ”kalau kita kerja super loyal maka iming-imingnya adalah menjadi karyawan tetap”.

Oke lah kita tidak keberatan dengan peraturan, kita bekerja dengan baik dan loyal, tapi MASALAHNya iming-iming menjadi KARYAWAN TETAP tidak kunjung datang, siapa yang tidak kecewa?

Apabila seorang karyawan telah di kontrak pertama adalah 3 bulan dan kemudian dibuat kontrak kerja lagi selama setahun dan berarti telah melewati 2 kali masa kontrak kerja, apakah ada kontrak baru? atau apakah selamanya kita jadi pekerja kontrakan? dan, bagaimana aturan yang jelasnya.

Dari search di google.com dapat tulisan dalam bentuk file document yang isinya adalah sebagai berikut :

“Kontrak maksimal boleh dilakukan 2 kali. Yang pertama maksimal 2 tahun dan yang kedua maksimal 1 tahun. Jadi total lamanya waktu kontrak adalah 3 tahun. Dalam kondisi tertentu, kontrak bisa saja di revisi asalkan total waktu kontrak tetap tidak melebihi 3 tahun.”

Misalnya kontrak pertama selama 2 tahun telah berakhir, kemudian dilanjutkan dengan kontrak kedua selama 6 bulan. Karena perusahaan masih membutuhkan kita, maka pada saat kontrak kedua jatuh tempo, perusahaan boleh merevisi kontrak kedua tersebut hanya sampai 6 bulan berikutnya (jadi total kontrak kedua adalah 1 tahun). Jika masa kontrak yang direvisi tersebut habis, maka perusahaan harus mengambil keputusan pegawai tersebut diberhentikan atau diangkat permanen/Perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Namun jika si Perusahaan dan si Pekerja masih sama-sama butuh, maka ada jalan keluarnya yaitu: Si pekerja diharuskan putus hubungan dulu dengan perusahaan minimal selama 30 hari (biasa disebut “Pemutihan”), kemudian si pekerja memulai lagi hubungan kerja (kontrak yang sudah ada sebelumnya dianggap hilang atau tidak pernah ada).

Yang masih menjadi pertanyaan saya adalah, apakah pemutihan tersebut saling menguntungkan atau hanya menguntungkan salah satu pihak saja?

Sudah seharusnya pegawai kontrak dibayar lebih mahal daripada pegawai permanen sebagai ganti rugi ketidakjelasan karir si pegawai kontrak, namun pada kenyataannya? Nah ini sebenarnya yang sering dijadikan alasan si perusahaan enggan mengangkat tetap seorang karyawan, toh si buruh yang butuh kerja biarkan saja dia menjalani proses pemutihan berulang-ulang selama dia masih mau bekerja. Tidak heran jika teman-teman buruh banyak yang sudah 6-8 tahun bekerja masih saja kontrak dan ikut outsourcing, menyedihkan, ironis.

Dalam ketentuan kontrak biasanya, jika perusahaan memutuskan kontrak sebelum masa berlaku kontrak habis, maka perusahaan wajib membayar gaji pada sisa kontrak. Tapi itu poin yang tidak mungkin terjadi. Daripada membayar sisa gaji, biasanya perusahaan akan sedemikian rupa membuat kebijakan/perlakuan meresahkan pegawai yang ingin “ditendangnya” dan pada akhirnya pegawai tersebut mengundurkan diri?

Peraturan kerja saat ini memang masih sangat merugikan pekerja lokal (karena pekerja kontrak non lokal/expatriant a.k.a asing gaji perorangnya bisa membayar puluhan bahkan ratusan orang pekerja lokal, menyedihkan bukan?) terlebih dengan hadirnya “Outsourcing/labour supply/man power” yang ingin memanfaatkan keadaan saat ini. Ini adalah persepsi saya sebagai seorang tenaga kontrak lokal.

Ah sepertinya memang menjadi seorang buruh jangan dijadikan sebagai satu-satunya kunci penghidupan, mungkin jiwa wirausahalah yang harus ada dalam diri kita. menabung saat menjadi buruh dan keluar kerja untuk membuka lapangan kerja sendiri. HARUS ITU.

(dari berbagai sumber.thanks google.com)

Facebook Comments