Nasib saya jelek banget,Ini pasti Takdir saya.
Beberapa dari kita begitu yakin dengan ‘nasib’ buruk kita, atau ‘takdir’ kita untuk tidak sukses atau tidak berhasil.

Seolah kalau kita melakukan sesuatu untuk lebih berhasil atau lebih sukses dari kondisi kita sekarang, berarti kita ‘melawan’ takdir atau nasib.
Lebih menarik lagi, beberapa kita merasa tidak menginginkan hal-hal lebih baik untuk kita, karena menurut kita ‘takdir’ kita adalah apa yang sedang kita hidupi dan nikmati sekarang.

Bahkan, walau sejarah sudah membuktikan berkali-kali betapa orang-orang tertentu melewati batas normal dan menghasilkan yang luar biasa sekalipun, kita hanya sampai batas kagum, dan bergumam, “Itu memang sudah ‘takdir’ mereka!”

Darimana kita tahu bahwa itu ‘takdir’ kita?
Bagaimana kita sampai pada kesimpulan bahwa itu adalah ‘ nasib’ kita?
Bagaimana pula kita yakin mengenai takdir orang lain?.

Bentuk nasib atau takdir hanyalah PANDANGAN dari apa yang dilihat, didengar, dialami.
Tentu saja, tidak ada satupun kita yang benar-benar mendapatkan ‘bisikan’ dari Tuhan bahwa ‘nasib’ atau ‘takdir’ kita sudah demikian?
Tentu saja tidak satupun dari kita ‘berbincang- bincang’ dengan Tuhan lalu mendapatkan penjelasan langsung dari Tuhan tentang apa yang menjadi ‘nasib’ kita, bukan?

Kita hanya menyimpulkan saja!
Kita hanya membuat kesimpulan berdasarkan jangkauan penginderaan kita saja, bahwa itu ‘nasib’ atau ‘ takdir’ kita.
Lalu, kalau begitu, darimana kita tahu ‘nasib’ kita sebenarnya?
Bagaimana kita tahu ‘takdir’ kita?

Kalau memang kita percaya bahwa setiap kita hidup dalam garis yang sudah ditetapkan oleh Tuhan, apakah ada cara untuk mengetahuinya?
Apakah dari peramal nasib?
Apakah dari guratan tangan?
Apakah dari tanggal lahir? Apakah dari zodiac? Shio?
Atau dari setiap langkah kita?
Atau dari setiap kejadian yang kita alami?
Atau, apakah kita boleh berasumsi hanya dari pengalaman dan perasaan kita saja?

Dan sementara kita mau berasumsi, apakah kita diam, menunggu perkembangan ‘nasib’, atau kita boleh tetap melakukan sesuatu untuk mencari ‘ nasib’ kita yang sebenarnya?
Sampai di mana kita berhenti dan MEMUTUSKAN bahwa itu ‘ nasib’ kita? Bagaimana kita tahu?

Bahwa BETUL SEKALI manusia punya batasan. Batasan ini bisa serupa artinya dengan asumsi ‘nasib’ atau ‘takdir’.
Dan memang, sangat mungkin manusia punya batasan masing-masing atau ‘nasib’ atau ‘takdir’ masing-masing.
Tapi tidak satupun dari kita yang tahu batasan tersebut. Kita tidak tahu secara pasti batasan kita atau ‘nasib’ atau ‘takdir’ kita masing-masing.
Kita hanya berpersepsi mengenai batasan tersebut, sebatas penginderaan kita saja.
Sebatas penglihatan, pendengaran, pengalaman kita saja.

Dan, kalau memang kita tidak tahu secara pasti batasan ini, bukankah menarik mencari tahu dengan terus mendaki, naik, berkembang, bertambah baik, pintar, mampu, dan seterusnya?
Dan kadang malah mengejutkan diri kita sendiri dengan apa yang bisa kita capai?

Beberapa dari kita akhirnya berhenti melakukan apapun dan membuat kesimpulan final tentang ‘nasib’ kita, sementara yang lain dari kita tidak pernah berhenti ‘mencari’ dan terus melakukan apapun.

Persamaannya: sama-sama tahu bahwa ada ‘batasan’ atau ada ‘takdir’ untuk setiap manusia.
Perbedaannya: satu berhenti mencari, satu terus mencari.

Termasuk manakah sobat ?
Sampai batas mana sobat bersedia terus berjalan?
Sampai batas mana sobat bersedia memberikan segalanya?

Dari sahabat: gozalionline.blogspot.com

Facebook Comments